Sabtu, 23 November 2013

Merti Bumi Desa Gabugan 2013

Sabtu, 17 Agustus 2013

Aku tinggal disebuah desa yang masih sangat kental dengan nilai-nilai yang menjunjung tradisi  budaya jawa.  Biasanya setiap dua tahun sekali di desa ku mengadakan Upacara yang digelar sebagai wujud kesadaran dan rasa syukur akan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa.

Warga desa gabugan menggelar upacara adat yang dilakukan di Gabugan, Turi, Sleman, Yogyakarta. Acara tersebut dilakukan untuk memperingati hari desa kami yang dimeriahkan dengan acara merti bumi atau bersih desa gabugan, selain itu juga dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit.

Merti Bumi atau Bersih Desa merupakan sebuah kegiatan yang menjadi simbol rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas segala karunia yang diberikan-Nya, Karunia tersebut bisa berupa apa saja seperti rezeki, keselamatan atau juga keselarasan dan ketentraman. Merti Bumi juga merupakan sebuah wadah di mana para penduduk bisa membina tali silaturahmi, saling menghormati, serta saling tepa selira. Seperti yang telah kita ketahui, meskipun perkembangan teknologi semakin pesat seperti alat komunikasi seperti telepon, hp, dan lain sebagainya, mungkin hal itu dapat mempermudah tali silaturhami. Tetapi sebagai makhluk sosial kita perlu berinterksi dan bertemu langsung dengan masyarakat lainnya.

Acara ini disiapkan 3 hari sebelum hari pelaksanaan. Pada waktu itu, warga Desa Gabugan mengadakan rapat rutin untuk memusyawarahkan dan merancang acara tersebut, kemudian setelah dimusyawarahkan pada pagi harinya warga desa mengadakan gotong royong membersihkan lingkungan desa, mendirikan tenda, dan membuat gunungan yang akan di gunakan untuk acara merti bumi tersebut. Kenapa di acara merti bumi harus ada gunungan? Karena selain rasa syukur kepada Tuhan, Merti bumi juga merupakan sebuah perwujudan keselarasan manusia dengan alam. Selama hidup, manusia telah hidup berdampingan dengan alam dan mengambil banyak materi dari alam. Maka dari itu, dibuatlah gunungan yang isi nya dari alam atau misalnya dari hasil panen warga. Seperti, padi, pisang, sayuran, ketela, atau salak dari hasil panen warga desa khas turi.

Kemudian setelah selesai menyiapkan perlengkapan, para pemuda-pemudi Desa Gabugan dan warga lainnya, pada malam harinya mengadakan latihan atau gladi bersih untuk melakukan tata cara merti bumi. Karena disini ada yang menjadi bergodo dan harus berjalan memutari desa dan ketika berjalan, kaki harus bergerak sesuai dengan irama musik jawa dan harus secara bersamaan dan kompak dari banyak orang maka dibutuhkan latihan.

Keesokan harinya, pada siang hari pukul 12.00 para bergodo sudah mempersiapkan diri, kostum yang digunakan menggunakan kebaya warna biru dan yang perempuan harus dirias begitu pula yang laki-laki, semua yang ikut jalan memutari desa harus menggunakan kostum yang sudah di tentukan.

Para bergodo mulai berbaris, ada yang membawa kendi, bendera, keris, drum, dan alat musik lainya.  Strat di depan masjid Al-mutaqien gabugan. Dan ketika pemimpin berkata “bergodo wektu yudho” dan disahut dengan suara drum untuk menandakan bahwa mulai berjalan diiringi dengan irama.

Semua warga desa gabugan dapat mengikuti kegiatan ini dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak sampai  sesepuh lainnya. Dan kami berjalan memutari desa sekitar 2km.

Ketika berjalan dengan irama jawa tersebut, banyak sekali orang yang menyaksikan di pinggir jalan. Bahkan dari berbagai media, salah satunya jogja media, gafatar, dan masih banyak lagi. Meliput acara ini dan membantu proses persiapan acaranya.

Kemudian setelah sampai finish tepat di rumah Bapak Tirto, tempat berhentinya jalan dan tempat panggung wayang kulit,  alunan musik semakin pelan dan gerakan kaki juga semakin pelan dan ketika irama musik berhenti, gerakan kaki juga ikut berhenti serentak. Disitulah kami mulai berbaris dengan rapat dan mulai berdo’a bersama-sama dengan dipimpin sesepuh yang tinggal di Desa Gabugan.

Setelah berdo’a gunungan tersebut mulai diletakkan ditengah-tengah dan diputari banyak orang, kemudian setelah selesai diakhiri dengan membaca surat Alfatihah semua orang mendakati gunungan tersebut dan mengambil yang ada pada gunungan tersebut secara berebutan.

Acara ini sangat ramai sekali, tetapi belum berakhir sampai disini. Pada malam harinya diadakan pagelaran wayang kulit, bukan haya itu tapi juga diadakan Syawalan untuk warga Desa Gabugan. Kami sebagai pemuda-pemudi desa gabugan juga membuat paduan suara untuk menyanyikan lagu Nasional karena itu kebetulan diadakan pada tanggal 17 Agustus.

 


Seharian mengikuti kegiatan ini sangat melelahkan, tetapi juga sangat mengesankan karena banyak hal yang dapat kita peroleh.

Salam Anisa :) 


Mari berkunjung di Desa Kami. untuk melihat klik di bawah ini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar